Bertugas di luar angkasa, suatu tempat dengan gaya gravitasi yang sama sekali berbeda dari Bumi, pada akhirnya memicu sejumlah perubahan pada tubuh astronot. Salah satunya gangguan penglihatan.
NASA pun mengakui adanya gangguan pelihatan pada astronot, utamanya yang ditugaskan dalam misi jangka panjang di luar orbit ini. Bahkan NASA mencatat pola seperti ini terlihat pada hampir dua-pertiga penjelajah angkasa mereka
Oleh peneliti, gangguan penglihatan ini disebut sebagai 'visual impairment intracarnial pressure (VIIP)'. VIIP ditandai dengan penglihatan kabur, diikuti dengan bagian belakang bola mata yang memipih serta radang pada saraf optik mereka.
Peneliti menemukan beberapa kemungkinan. Pertama, terjadinya perubahan cairan di dalam pembuluh darah, terutama di tubuh bagian atas karena lamanya waktu yang dihabiskan astronot di luar angkasa. Namun Alperin juga menemukan potensi penyebab lain yaitu berkaitan dengan cairan cerebrospinal atau lebih dikenal sebagai cairan otak.
Alperin menduga cairan otak astronot berubah karena di luar angkasa, mereka lebih banyak berada dalam posisi berdiri ketimbang berbaring. "Di luar sana, tubuh juga kebingungan dengan perubahan tekanan yang biasanya mempengaruhi postur tubuh seseorang," jelasnya.
Timnya telah memastikan hal ini dengan melakukan scan MRI beresolusi tinggi pada tujuh astronot sebelum dan sesudah menjalani misi luar angkasa berdurasi panjang. Hasil scan otak mereka lantas dibandingkan dengan hasil scan otak 9 astronot lain yang ambil bagian dalam misi berdurasi pendek.
Fakta membuktikan, pada astronot yang misinya berdurasi panjang terjadi peningkatan volume cairan otak di dalam rongga tengkorak yang bertugas menahan bola mata.
Namun Alperin mengakui jika sampelnya terlalu kecil. Kendati demikian temuan ini bisa jadi peringatan untuk mencegah kerusakan pada mata astronot sejak dini. "Sebab jika tidak teridentifikasi sejak dini, mereka bisa mengalami kerusakan yang tidak dapat dipulihkan," pungkasnya.
Berkat temuannya ini, Alperin berhak menerima dana hibah untuk melanjutkan riset terkait kondisi tersebut sebesar 600.000 dollar AS atau berkisar Rp 8,1 miliar.
refferensi :
0 komentar:
Posting Komentar